Lembaga Hikmah dan Kebajikan Publik (LHKP) PW Muhammadiyah DI Yogyakarta
Di dalam satu butir rekomendasi Musyawarah wilayah Muhammadiyah DI Yogyakarta yang diselenggarakan tahun 2015 silam memuat salah isu penting yaitu perihal berkuasanya bisnis dengan merk dagang minimarker modern berjejaring yang telah menggurita. Di dalam keputusan musyawarah tertinggi Muhammadiyah di DIY tersebut dituliskan bahwa:
“…Dominanya bisnis swalayan modern berjejaring memukul kekuatan ekonomi lokal. Hal ini jika tidak direspon serius tidak menutup kemungkinan banyak produsen lokal akan gulung tikar dalam waktu yang tidak lama khususnya di DI Yogyakarta. Respon perysrakitan harus komprehensif meliputi aspek pemberdayaan kelompok ekonomi dan juga advokasi terhadap keberadaan regulasi yang berpihak kepada masyarakat lokal.”
Karena itu Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PW Muhammadiyah DIY telah melakukan kajian perihal keresahan sosial dan potensi persoalan hadirnya SWALAYAN MODERN BERJEJARING khususnya yang menimpa DI Yogyakarta. Pernyataan ini merupakan tindak lanjut pengaduan LHKP kepada lembaga ombudsman DIY pada tanggal 20 Januari 2016 silam dengan materi perihal swalayan tak berizin dan jarak yang terlalu dekat dgn pasar tradisional serta beroperasinya swalayan tanpa nama di kota Jogja dan juga ada nama nama swalayan yang berbau tipuan untuk mengelabui pembeli atau regulasi pemerintah.
Mengingat begitu banyak gejolak sosial ekonomi dan kebudayaan dari brutalnya bisnis swalayan berjejaring di republik ini tidak terkecuali di DIY maka upaya pengaduan ini adalah bagian dari dakwah nahi munkar di ruang publik. Jika diikuti di media pecan terakehir ini, penolakan atas dominasi bisnis waralaba/swalayan mulai tak terhindarkan. Bisa jadi, lemahnya penegakan hukum akan direspon dengan bangkitnya gelombang perlawanan di daerah akibat dominasi pasar yang merusak pasar lokal di daerah dan berpotensi meminggirkan potensi ekonomi daerah secara berkepanjangan.
Untuk itu kami atas nama LHKP PW Muhammadiyah DI Yogyakarta menyampaikan sikap kami, antara lain:
1. Dominasi pasar oleh swalayan yang merugikan pedagang kecil dan lokal selama ini sudah sangat parah. Kerakusan pebisnis swalayan ini mengakali regulasi dengan menghalalkan segala cara mulai melanggar jarak dgn pasar traditional, memalsukan nama. Sebagai contoh: banyaknya swalayan tanpa nama di Kota Yogyakarta, juga yg kasus di Pasar Cebongan yang kemarin sudah disegel tapi sekarang buka dengan nama baru “bhineka mitra.”; Dalam praktiknya, gerai yang illegal tetap beroperasi dengan main buka tutup jika ada hari penertiban. Praktik ini sudah dapat dianggap sebagai kemungkaran dalam tata niaga yaitu dengan menghalalkan segala cara karenanya harus dihentikan.
2. Walaupun berbagai perda perlindungan pasar tradisional baik di pemda DI Yogyakarta, Kabupate/Kota, serta regulasi lainnya namun dirasakan adanya kekosongan penegakan regulasi terkait perlindungan pasar tradisional sehingga liberalisasi pasar waralaba di DI Yogyakarta telah menyuburkan praktik eksploitatif di daerah. Di dalam perda di DIY dikatakan bahwa pasar modern membina pasar tradisional adalah harapan kosong karena antara pasar modern dan tradisional adalah hubungan yang bersifat kontradiktif. Karenanya, perlunya evaluasi atas kebijakan atau regulasi mengenai pasar modern yang telah berlaku selama ini untuki ditekankan pada pembelaan atas eksistensi pasar rakyat.
3. Berbagai praktik koruptif penyuapan dalam pendirian gerai swalayan modern-berjejaring telah merusak moral masyarakat dan mengembangkan mentalitas menerabas (permisif). Praktik bisnis tanpa etika dan kearifan lokal tidak boleh dibiarkan dan menolaknya berarti melaksanakan dakwah amr ma’ruf nahi munkar di ruang publik. Karenanya, kami menghimbau kepada semua pihak terkait untuk berusaha sekeras-kerasnya memenuhi rasa keadilan dan ketertiban sosial yang akhir-akhir ini gampang tersulut akibat gejolak ekonomi dan sosial masyarakat. Dalam kesempatan ini, kami juga mengajak siapa saja untuk tak segan-segan melaporkan berbagai pelanggaran dalam kegiatan bisnis di Yogyakarta yang berkebudayaan dan beretika. rakyat semakin cerdas dan lebih berdaulat lagi di hari-hari penuh dengan persoalan ini.
4. Secara khusus penegakan etika bisnis juga harus dilakukan. Ini menyangkut tiga ranah “bottom line”, yakni ekonomi, lingkungan dan sosial, yang secara sederhana menekankan bahwa perusahaan memiliki tanggungjawab pada ketiga aspek tersebut. Aspek ekonomi sudah disorot dalam butir-butir di atas. Aspek-aspek lainnya juga sudah harus diindahkan segera dengan, antara lain, sebanyak mungkin memanfaatkan bahan yang dapat didaur ulang dalam kemasan atau wadah dari toko. Atau, memberikan hak pegawai dan suplier secepat mungkin, sehingga memenuhi kaidah “diberikan haknya sebelum keringatnya kering”.
Demikian peranyataan sikap ini dibuat dengan sebenarnya, atas nama LHKP PW Muhammadiyah DIY menyampaikan banyak terima Kasih atas dukungan rekan-rekan media. Semoga Allah memberikan kemudahan setiap langkah perjuangan kita. Jika ada informasi yang diperlukan silakan menghubungi CP. 081357180841 (Dekpendi).
Yogyakarta, 22 Februari 2016
Tinggalkan Balasan