Prof. Dadang Kahmad: Visi Sosial Budaya Muhammadiyah Abad Kedua

Muktamar Muhammadiyah yang  diselenggarakan pada 3-7 Agustus 2015 di Makassar mengangkat tema besar “Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan”. Tema besar itu lahir dari suasana kebatinan kader Muhammadiyah yang risau dengan perkembangan dan arah kehidupan berbangsa, salah satunya dalam aspek sosial budaya.
Kekuatiran terhadap kondisi sosial budaya bangsa ini memang bukan tanpa dasar. Sejumlah prilaku, tata krama, kesopanan dan etika berkebudayaan menampilkan tabiat keadaban yang menyedihkan. Bahkan dalam tingkat tertentu dapat menjadi ancaman bagi kemanusiaan.

Beberapa tabiat keadaban bangsa itu misalnya tampak dalam prilaku politik yang menghalalkan segala cara, ekonomi tanpa etika dan hukum tanpa nurani. Tata budaya semacam itu melahirkan perilaku yang tidak memuliakan anak yatim (lâ tukrimûn al-yatîm); kurang membuka ruang inisiatif untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat miskin (lâ tahâdhûna ‘alâ tha’am al-miskîn); rakus terhadap warisan kekuasaan (ta`kulûn al-turâtsa akla lamâ); dan lebih berorientasi pada pemenuhan hasrat menumpuk kekayaan (tuhibbûn al-mâl hubba jammâ). Tumbuhlah sikap mental budaya yang suka menerabas atau jalan pintas, koruptif, birokrasi yang tidak produktif, berbelit-belit, tidak disiplin, dan tidak ramah.

Di sisi lain, budaya konsumeristik yang tumbuh subur menjadi tantangan tersendiri bagi keadaban bangsa. Bentukan dari evolusi kapitalisme sebagai sistem kebudayaan, yang kemudian membentuk dan mengkondisikan gaya hidup dunia ketiga atau masyarakat negara berkembang.

Akhirnya, masyarakat dikonstruksi kehidupan sosialnya untuk mengikuti arus hasrat yang mengalir tanpa henti ini, sehingga lahirlah apa yang dikenal dengan budaya konsumeristik-hedonistik. Gaya hidup yang menjadikan barang mewah, kegembiraan dan kesenangan sebagai ukuran dan standar norma kehidupan.

Ajaran keagamaan yang sebelumnya menjadi spirit dan identitas bangsa yang suci, kini telah tercampur dengan budaya konsumeristik yang profan. Praktik keagamaan masyarakat kita, cenderung terbelah kepada dua arah, yaitu satu sisi kepada penguatan spiritualitas (keshalihan spiritual) dan sisi lainnya kepada pemenuhan tuntutan tubuh yang bersifat konsumeristik-materialistik-hedonistik. Dalam ungkapan Jorge Borges, satu bagian ke arah kontrol asketis sedangkan yang lain ke pengumbaran hasrat orgiastik.

Kecenderungan praktik keagamaan tersebut, tampak misalnya dalam fenomena dzikir bersama dan merebaknya kursus-kursus atau latihan singkat mencapai ma’rifat, cara shalat khusu’, serta sejumlah pelaksanaan ritual keagamaan lainnya seperti ibadah puasa, umrah dan haji yang menghabiskan biaya sangat besar. Fasilitas yang mereka gunakan adalah hotel-hotel berbintang. Di satu sisi, fenomena keagamaan tersebut, tentu sangat menggembirakan. Tetapi, di balik semua itu, ada suatu pemenuhan hasrat hedonistik-duniawi yang tersembunyi di balik topeng keagamaan. Suatu praktik keagamaan yang justru menjauh dari nilai-nilai kesejatian spiritualitas, yakni kepekaan, tanggung jawab sosial dan kemanusiaan. Karena itu, penulis menganggapnya sebagai praktik keagamaan yang terbelah dan mengalami deviasi (penyimpangan) dari spiritualitas yang sejati.
Situasi sosial budaya dan praktik keagamaan yang sedemikian rupa tentu saja memerlukan ikhtiar untuk dipinggirkan, agar arus utama pencerahan bangsa akan mampu terwujud.

Visi sosial budaya Muhammadiyah harus memastikan ajegnya pondasi peradaban. Ada tiga basis yang menjadi fundamen atau dasar bangunan suatu peradaban. Ketiga basis tersebut adalah kemanusiaan, keilmuan, dan spiritualitas.
Untuk menata bangun kembali peradaban dalam rangka merealisasikan visi kebudayaan Muhammadiyah harus dimulai dengan menata bangun ketiga basis peradabannya, yaitu kemanusiaan, keilmuan, dan spiritualias.
Ketiga basis peradaban tersebut merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan suatu bangunan atau visi kebudayaan. Ketiganya menjadi semacam pijakan utama atau tali perekat peradaban, yang jika salah satunya hilang, maka nasib suatu peradaban akan mengarah kepada ketakberadaban.

Kesadaran untuk mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya yang dimuliakan oleh Tuhan. Sejarah membuktikan bahwa gerakan keagamaan maupun sosial-politik yang membela dan berpihak kepada kaum miskin, budak, dan kaum mustadh’afin-lah yang sanggup mewujudkan bangunan masyarakat yang berperadaban.

Tidak heran jika hampir semua gerakan sosial keagamaan yang dapat mewujudkan bangunan peradaban dalam sejarah, selalu memberikan perhatian besar terhadap kaum mustadh’afin (lemah, miskin, terbelakang dan terpinggirkan). Nabi Musa misalnya, dikenal dengan keberpihakan dan pembelaannya terhadap kaum mustadh’afin dari Bani Isra’il dalam melawan otoritarian Fir’aun. Sehingga mereka dijanjikan Tuhan sebagai pemimpin dan yang mewarisi bumi. “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang mustadh’afin di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)” (Qs. al-Qashash [28]: 5).

Dalam sebuah hadits riwayat Tirmidzi, Abu Dawud, dan al-Nasa’i Rasulullah memerintahkan untuk mencari dan menolong kaum yang lemah (dhu’afa). “Cari dan tolonglah kaum dhu’afa-mu, sesungguhnya kamu sekalian ditolong dan diberi rizki karena (do’a dan berkah) kaum dhu’afa”.

Basis kedua dari pembangunan visi peradaban adalah keilmuan. Islam memberikan landasan yang kuat untuk konsep keilmuan ini. Al-Quranmisalnya menjelaskan bahwa “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu” (Qs. Al-Muzadilah [28]: 11).

Bahkan wahyu pertama itu sendiri adalah perintah iqra (membaca, menelaah, mendalami, meneliti dan menggali ilmu pengetahuan). Sementara dalam sejumlah riwayat dijelaskan tentang kedudukan ilmu, proses mencari ilmu dan ilmuwan dalam posisi yang sangat agung. Misalnya, dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa “ilmu itu adalah mutiara kaum muslim yang hilang, maka carilah mutiara itu, di mana pun berada”. Dalam riwayat lainnya dinyatakan bahwa “barang siapa menempuh suatu jalan dalam mencari ilmu, maka Allah akan memberi jalan ke surga”; Malaikat akan mengepakkan (melindungkan) sayapnya serta memintakan ampun kepada orang yang sedang mencari ilmu”; Ilmuwan itu adalah pewaris para Nabi”. Hal ini sejalan dengan temuan peradaban hari ini, sebagaimana dikemukakan oleh Habermas, bahwa sebuah peradaban hanya dapat dibangun di atas landasan rasionalitas. Sedang rasionalitas hanya dapat berkembang dalam tradisi diskursus keilmuan yang kondusif.

Sementara itu, hampir tidak ada ruang-ruang publik tempat bertukar pikiran, menyampaikan ide dan gagasan serta tidak ada ruang-ruang publik yang mendorong berkembangnya diskursus keilmuan. Padahal semua itu merupakan persyaratan mutlak dalam membangun sebuah keadaban publik atau pencerahan peradaban untuk Indonesia berkemajuan. Pencerahan peradaban tidak dapat dibangun melaui gosip atau mistik.

Selama ini ada yang salah kaprah, mistik identik dengan spiritualitas. Klenik pun memdzikir masal ada dimana-mana, namun sekadar berbaju putih, menangis dan melafalkan kalimat dzikir. Khurafat dan takhayul masih mendominasi bahkan dalam bentuknya yang lebih canggih.

Tingginya tingkat spiritualitas itu terpancar dari prilaku yang jujur, ihlas melayani dan meletakkan kemanusiaan sebagai sikap utama. Melengkapkan keshalihan individual-spiritual dan keshalihan sosial. Tiada hari tanpa ibadah, semuanya dilakukan sepenuh hati untuk mengabdi kepada Sang Ilahi.

Pendidikan merupakan kunci untuk perwujudan visi sosial budaya. Membangun sebuah peradaban, mensyaratkan penumbuhan kultur kepekaan dan kepedulian atas problem kemanusiaan, pengembangan tradisi diskursus keilmuan di ruang-ruang publik, serta penguatan spiritualitas.

Dalam konteks ini, lembaga pendidikan merupakan institusi yang sangat penting untuk mewujudkan persyaratan pembangunan peradaban tersebut. Telah menjadi kesepakatan umum, bahwa lembaga pendidikan, bukan sekadar institusi yang berfungsi mentransformasikan ilmu pengetahuan dan keterampilan saja, melainkan juga berperan dalam mentranformasikan nilai-nilai tradisi, kearifan dan spiritualitas serta meneguhkan nilai kemanusiaan.

Dalam konteks inilah, maka Muhammadiyah dalam abad keduanya, bukan sekadar berdakwah menyempurnakan akhlaq, melainkan lebih dari itu adalah meletakkan, menyusun, dan menata kembali fondasi-fondasi, hingga membangun, memperbaiki dan menyempurnakan kembali akhlaq peradaban bangsa. Itulah visi sosial budaya Muhammadiyah untuk meneguhkan gerakan pencerahan menuju Indonesia berkemajuan. Wallahu’alam.•
________________________
Prof Dr H Dadang Kahmad, MSi, Ketua PP Muhammadiyah.

http://suaramuhammadiyah.com/wawasan


Diterbitkan

dalam

oleh

Tags:

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *