Pengamat: Ada Puluhan Korban Salah Tangkap Densus 88

Anggota Densus 88 Antiteror Polda Jabar melakukan penggerebekan terduga ISIS di Desa Orimalang, Kecamatan Jamblang, Cirebon, Jawa Barat, Jumat (15/1). Aparat mengangkap tiga orang terduga teroris dan sejumlah barang bukti diantaranya bendera ISIS, buku jihad serta sejumlah dokumen lain. ANTARA FOTO/Solihin/DA/aww/16.
Anggota Densus 88 Antiteror Polda Jabar melakukan penggerebekan terduga ISIS di Desa Orimalang, Kecamatan Jamblang, Cirebon, Jawa Barat, Jumat (15/1). (Antara/Solihin)

Kematian Suyono (39 tahun) yang menjadi terduga teroris setelah ditangkap oleh Densus 88 kembali menambah daftar panjang tidak transparan dan akuntabelnya operasi pemberantasan terorisme.

Pengamat terorisme, Haris Abu Ulya, mengatakan, selama ini masyarakat sudah mengindikasi adanya tindakan yang tidak sesuai oleh Densus 88. “Kalau Densus mau jujur buka data, setidaknya ada 120-an orang yang tewas dalam operasi terorisme di luar pengadilan,” kata dia kepada Republika.co.id, Ahad (13/3).

Kemudian, untuk kasus salah tangkap, setidaknya lebih dari 40 orang dan 99 persen dari mereka yang salah tangkap ini mengalami penyiksaan. Dikatakan Haris, data tersebut baru hasil monitoring yang ia lakukan hampir setiap tahun. “Kita hitung berapa yang mati setiap ada operasi dan proses penangkapan terduga teroris,” ujar Direktur The Community of Islamic Ideology Analyst (CIIA) ini.

Haris berharap, pimpinan di kepolisian dapat menegaskan transparansi operasi Densus selama ini sehingga lebih akuntabel. Kalau memang Densus harus membunuh atau menewaskan, jadi bisa dipertanggungjawabkan ke publik.

“Itu teknis, misalkan setiap operasi helm anggota Densus dipasang kamera. Jadi, selesai operasi, gerak-gerik anggota itu bisa dievaluasi. Kenapa harus menembak, melumpuhkan, atau bila terpaksa harus menewaskan,” katanya.

Dia menjelaskan, komandan pun bisa mengevaluasi seperti itu. Dengan begitu, kalau tidak benar, bisa diberikan sanksi. Protap ini pun mampu memberi kepercayaan masyarakat kepada Densus. “Kankatanya kepolisian profesional. Kalau tidak, itu sama saja dengan melahirkan kebencian baru,” ujarnya. (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum)


Diterbitkan

dalam

,

oleh

Tags:

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *